Agar Muhammadiyah benar-benar menjadi bagian dari khaira ummah, ummatan wasatha dan pelopor peradaban utama, maka radius pergaulan warganya perlu diperluas. Tidak hanya pergaulan secara fisik namun juga secara intelektual dan spiritual. Jalinan silaturahim kader dan aktivisnya diperlebar dan sinergitasnya degan berbagai komponen kebajikan di dipererat. Perbedaan pandangan bukan alasan untuk saling menyingkirkin dan menegasikan namun untuk memperkokoh persaudaran.

Dengan modal khaira umah dan ummatan wasatha inilah peradaban utama bisa terealisir. Bila tidak, ia hanya akan menjadi slogan yang manis diucapkan, penghias ruangan, dan alat gagah-gagahan di berbagai kegiatan.

Muktamar Seabad Muhammadiyah 3-8 Juli 2010 yang lalu mengambil tema “Gerak Melintas Zaman, Dakwah dan Tajdid Menuju Peradan Utama”. Tema tersebut diusung tentu bukan sekedar pelengkap dan embel-embel proposal kegiatan. Ia menunjukkan cita-cita besar warga ormas Islam terbesar dan tertua di Indonesia itu sebagai umat yang berada pada garda depan perwujudan peradaban idaman.

Peradaban Utama seperti apa yang akan dituju Muhammadiyah? Tentu saja, bila mengacu pada tujuan Muhamadiyah, maka peradaban utama yang dimaksud adalah masyarakat Islam yang sebenar-benarnya sebagaimana tertuang dalam Angggaran Dasar organisasi ini.

Muhammadiyah pelopor peradaban utama
Muhammadiyah pelopor peradaban utama

Memang, tidak satupun ayat Al Qur’an yang secara literal menggunakan istilah Peradaban Utama atau Hadratu al-Fadhilah. Meski demikian, ada dua kata kunci dalam Al Qur’an yang bisa dijadikan landasan terbentuknya peradaban utama ini. Pertama adalah khaira ummah dan yang kedua ummatan wasatha.

Secara explisit Al Qur’an (QS. Ali Imran (3): 110) menyebut umat Muhammad sebagai khaira ummat (umat terbaik). Tafsir Al-Thabari dan al-Jalalain menjelaskan, predikat khaira ummah melekat pada umat Islam selama kaum Muslimin masih ber-amar ma’ruf, mencegah kemungkaran, dan senantiasa beriman kepada Allah. Bila tiga ciri ini hilang, lenyap pula predikat khaira ummah itu.

Sebutan khaira ummah bagi umat Islam dalam al-Qur’an tersebut, meminjam istilahnya Kuntowijoyo, merupakan grand theory yang mesti di turunkan lagi dengan middle range theory agar bisa dimaknai secara operatif dan membumi. Dalam pandangan Kuntowijoyo (2002), ayat 110 surat Ali Imran tersebut mengajarkan prinsip humanisasi, liberasi, dan trensendensi sebagai prasarat tercapainya umat terbaik. Ta’muruuna bi al-ma’ruuf adalah prinsip humanisasi untuk memperlakukan manusia secara arif dan bijak, tanhauna ‘an al-munkar sebagai bentuk liberasi (pembebasan) manusia dari segala kemungkaran sosial, ekonomi, politik, dan budaya, dan tu’minuuna billaahi sebagai refleksi sikap transendensi, ketundukan kepada Allah SWT.

Jauh sebelum uraian Kuntuwijayoyo di atas muncul, dokumen-dokumen resmi Muhammadiyah telah mendukung gagasan di atas meski dengan ungkapan yang tidak sama persis. Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, misalnya, menyebut “ihsan kepada kemanusiaan” sebagai salah satu bentuk menjunjung tingga agama Islam di masyarakat. Kepribadian Muhammadiyah butir 6 juga menegaskan salah satu sifat Muhammadiyah adalah “amar ma’ruf nahi munkar dalam segala lapangan serta menjadi contoh tauladan yang baik.”

Pada dataran praksis, agar spirit khaira ummah tersebut selalu bergema, ia mesti dimaknai sebagai ungkapan operatif dalam rangka menuju kualitas terbaik. Dengan demikian, khaira ummah adalah proses yang harus senantiasi diperjuangkan umat Islam dalam rangka menjadi umat terbaik yang berkualititas. Sayangnya, tidak sedikit dari kita yang memaknai khaira ummah masih secara “mitis-utopis”, melihat predikat itu sebagai pemberian yang taken for granted. Bahkan, di tengah keterpurukan ekonomi, sosial, dan politik yang diderita negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim, kita masih sering berapologi “tidak apa-apa kita terpuruk di dunia, yang penting masih menyandang predikat umat terbaik”. Sementara, di saat bersamaan ribuan saudara kita hidup di bawah garis kemiskinan, tidak memperoleh akses pendidikan yang layak, dan berada dalam berbagai keterpurukan. Bagaimana dunia akan mengakui bahwa kita ini umat terbaik bila arus informasi, trend teknologi, dan pusat-pusat peradaban lainnya masih dipegang pihak lain? Pada kontek inilah tema “menuju peradaban utama” di atas serasa menemukan mementum: sebagai pelecut bahwa tugas Persyarikatan ini belum selesai. Predikat umat terbaik itu perlu lebih dibumikan sebab secara empirik cita-cita itu masih jauh panggang dari api. Diperlukan kerja keras dan cerdas untuk mewujudkannya.

Selain khaira ummah, AlQur’an juga menyebut umat Islam sebagai ummatan wasatha (QS. Al-Baqarah (2): 143). Menurut Quraisy Shihab (1996) ummatan washata adalah “umat moderat, yang posisinya berada di tengah, agar dilihat oleh semua pihak, dan dari segenap penjuru… Wasathiyat (moderasi atau posisi tengah) mengundang umat Islam untuk berinteraksi, berdialog, dan terbuka dengan semua pihak (agama, budaya, dan peradaban), karena mereka tidak dapat menjadi saksi maupun berlaku adil jika mereka tertutup atau menutup diri dari lingkungan dan perkembangan global.” Masih menurut Shihab, kata wasath itu sendiri berarti “segala yang baik sesuai dengan obyeknya” dan “sesuatu yang baik berada pada posisi di antara dua ekstrem.”Arti kata wasath yang lain adalah “tengah” dan “adil”.

Posisi moderat dan tengahan umat Islam ini mengajarkan untuk tidak berpihak pada salah satu titik ekstrim. Dalam mengarungi kehidupan, misalnya, umat Islam tidak berada pada titik ekstrim materialisme dan hedonisme, atau sebaliknya, berada pada ujung ascetisme yang anti duniawi. Dalam memahami Al-Qur’an, umat Islam tidak berada pada titik ekstrim textualisme, lietaralisme, dan fundamentaisme pun juga tidak pada extrim sebaliknya: sekularisme dan liberalisme. Posisi tengah inilah yang mendorong Umat Islam, termasuk di dalamnya warga Muhammadiyah, untuk selalu memadukan aspek ruhani dan jasmani, serta mensinergikan dimensi spiritual, intelektual, moral, dan material dalam satu paket sekaligus. Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah butir (c) menegaskan: “Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan Al-Qur’an (yakni) kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, (dan) Sunnah Rasul (yaitu) penejelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran Al-Qur’an yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW, dengan menggunakan akal pikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.”

Meski tuntunan memadukan dalil Naqli dan Aqli sebagaimana diuraikan diatas sudah cukup gamblang, namun kita masih sering terjebak pada praktik labeling: dengan mudah memberi “cap/stempel” saudara dan sebagian pimpian kita itu fundamental, tekstual, dan literal hanya kerana sering mengutip ayat-ayat Qur’an dan hadits nabi. Sebaliknya, kita juga sering menstigma saudara dan sebagian pimpinan kita serta menuduhnya sekuler dan liberal hanya karena mereka menggunakan potensi intelektualnya. Begitu sering kita memakan bangkai saudara kita sendiri dengan cara ghibah, menghakiminya in absentia bahkan menyesat-nyesatkannya disebabkan pandangan yang berbeda. Padahal Al Qur’an tegas-tegas melarang kita berlaku tidak adil terhadap pihak lain hanya karena kita tidak menyukainya (QS. Al-Maidah (5): 8).

Agar Muhammadiyah benar-benar menjadi bagian dari khaira ummah, ummatan wasatha dan pelopor peradaban utama, maka radius pergaulan warganya perlu diperluas. Tidak hanya pergaulan secara fisik namun juga secara intelektual dan spiritual. Jalinan silaturahim kader dan aktivisnya diperlebar dan sinergitasnya degan berbagai komponen kebajikan di dipererat. Perbedaan pandangan bukan alasan untuk saling menyingkirkin dan menegasikan namun untuk memperkokoh persaudaran.

Dengan modal khaira umah dan ummatan wasatha inilah peradaban utama bisa terealisir. Bila tidak, ia hanya akan menjadi slogan yang manis diucapkan, penghias ruangan, dan alat gagah-gagahan di berbagai kegiatan.

Wallahu A’lam.

NB: Dengan sedikit modifikasi, artikel ini pernah diterbitkan dalam kompilasi buku Majelis Reboan, Forum Kultural AMM Yogyakarta dengan judul “Khaira Ummah, Ummatan Wasatha & Peradaban Utama” sebagai kado Muktamar Muhammadiyah Satu Abad (2010).

Masjid Sultan Iskandar, Johor Bahru, Malaysia Photo by Imran Azman on Unsplash

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.