Resep Bahagia

Belum pernah saya dengar bisnis atau usaha bangkrut hanya karena rajin sedekah. Sedekah adalah investasi ukhrawi dan duniawi. Sekecil apapun ia bagian dari pengendalian diri, pengejewentahan rasa syukur dan kepedulian sosial.

—————-

“Wahai Rasulullah, berilah kami resep hidup bahagai,” tanya seorang sahabat. Rasulullah menjawab: “Antashaddaqa wa anta shahiihun syakhikhun takhsya al-fakra wa ta’muli al-ghina” (Bersedekahlah di kala kamu masih sehat, sementara hidup mu masih serba kekurangan dan kamu sendiri ingin menjadi kaya). Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim yang sering disebut muttafaqun ‘alaih. Artinya, dari segi sanad insya Allah tingkat keshahihannya terjamin.

Mengapa Rasulullah mendorong kita bersedekah ketika masih sehat? Sebab kenyatannya orang yang sehat itu sering tidak sadar, lupa bahwa sehat itu karunia Allah SWT. Lupa diri inilah pangkal dari tindakan ceroboh, sembrono, tidak hati-hati dan tentu juga kurang produktif. Biasanya, kesadaran akan berbuat baik, termasuk bersedekah, baru muncul ketika kita sedang dicoba dengan rasa sakit. Saat berbaring di rumah sakit, kita sering merenungi tindakan-tindakan masa lalu. Begitu menyadari punya banyak dosa muncul keinginan taubat, berazam untuk memperbanyak sedakah sebagai ungkapan syukur jika nanti sembuh. Orang yang bijak tentu akan sedekah tanpa harus menunggu sakit datang.

Kenapa juga Rasulullah SAW menganjurkan kita bersedekah ketika masih merasa kurang dan ingin kaya? Kenyataannya, manusia sering merasa tidak cukup. Diberi kekayaan berapapun jumlahnya selalu merasa kurang dan ingin lebih. Merasa masih kurang dan belum cukup ini sering dijadikan alasan untuk menunda-nunda sedekah. “Ah, saya kan masih perlu uang ini; ntar deh saya sedekah setelah banyak rejeki,” begitu kita sering berdalih. Sebenarnya, bersedakah saat kita sendiri masih memerlukan harta merupakan sarana pengendalian nafsu ingin menguasai dan kontrol terhadap kehalalan cara kita mencari rezeki. Sebab, tidak sedikit orang yang tergelincir pada tindak pidana korupsi berawal dari rasa tidak cukup dan nafsu ingin menguasai tanpa batas.

Sebuah hadits Qudsi menyebutkan: “Allah senantiasa hadir ditengah-tengah orang miskin”. Ironinya, kita sering abai terhadap mereka. Padahal, moral hadis tersebut mengajarkan bahwa kita sedang ‘bertransaksi’ dengan Allah saat terlibat aktif mengentaskan kaum mustadz’afin itu. Dengan sedekah kita tidak hanya simpati dan berempati tapi berpartisipasi langsung meringankan penderitaan orang lain. Merupakan kebahagiaan bila kita mampu membantu sesama keluar dari kesusahan. Sekecil apapun dana sedakah yang kita sumbangkan melalui lembaga philanthropy yang amanah dan professional berkontribusi mengurangi kemiskinan struktural dan meningkatkan kemakmuran.

Secara ekonomis sedekah mengenal hukum reward, “man yazra’ yahshud,” siapa menanam mengetam, siapa beramal dapat pahala, siapa berbuat kebajikan akan memperoleh kebaikan berlihat, begitu seterusnya. Pemilik toko yang yang rajin bersedekah di lingkungannya, insya Allah pelanggannya melimpah. Saudagar yang tidak pelit, insya Allah kekayaannya aman dari jarahan kriminal. Pengusaha yang tidak bakhil pada karyawannya, insya bisnisnya makin berkembang. Yang jelas, tidak ada dalam sejarah orang jatuh miskin karena sedekah. Belum pernah saya dengar, bisnis atau usaha bangkrut hanya karena yang bersangkutan dermawan. Singkatnya, sedekah adalah investasi yang berdimensi ukhrawi dan duniawi.

Pada konteks sosial sedekah adalah implementasi solidaritas dan ukhuwah. Disinilah arti penting 6T dalam Islam, Ta’aruf, Tafahum, Tasamuh, Ta’awun, Takaful, dan Taqwa. Bangunan sosial kita mestinya dilandasi oleh kemauan untuk saling mengenal (ta’aruf) dan saling memahami (tafahum) terhadap kelebihan dan kekurangan masing-masing. Keberbedaan potensi yang ada bukan untuk diperselisihkan tapi untuk disinergikan dalam bingkai toleransi (tasamuh). Sikap toleran ini menjadi bekal berharga untuk bisa bekerja sama (ta’aawun) sehingga bila ada saudara yang perlu bantuan, meski berbeda golongan, akan tetap saling menjamin (takaful) kelangsungan hidup dan keselatamannya dan bersama-sama meraih predikat taqwa. Sepanjang rantai 6T tersebut sedekah memimiliki peran yang sangat vital.

Tidak berlebihan untuk mengatakan resep hidup bahagia Rasulullah SAW di atas berdimensi personal dan sosial. Sedekah, sekecil apapun bagian dari pengendalian diri dan pengejewentahan rasa syukur serta kontribusi sosial untuk menuju pribadi dan masyarakat yang sehat.

Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.