Nalar, Orientasi dan Kedewasaan Beragama di Masa Wabah

Oleh Ahmad Muttaqin
Virus, Manusia, Tuhan
Virus, Manusia, Tuhan

Bagaimana nalar masyarakat menghadapi wabah Covid-19? Apakah perbedaan orientasi keagamaan instrinsik dan extrinsik berimplikasi pada perbedaan kualitas cara menyikapi wabah? Mengapa sebagian masyarakat agama abai terhadap protokol kesehatan  pada masa adabtasi kebiasaan baru? Perubahan lanskap keberagamaan seperti apa yang berpotensi muncul pada masa adaptasi kebiasaan baru dan pasca wabah?

Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas dapat ditemukan dalam artikel terbaru saya berjudul “Nalar, Orientasi dan Kedewasaan Beragama di Masa Wabah: Apa yang Dapat Studi Agama-Agama Lakukan?” dalam buku Virus, Manusia, Tuhan: Refleksi Lintas Iman tentang Covid-19, yang diedit oleh Dicky Sofyan dan Muhammad Wildan (KPG & ICRS, Desember 2020).

Diskusi nalar beragama dalam artikel tersebut direfleksikan melalui penelaahan menjamurnya psudosciencedan pseudoreligionyang digunakan warga agama dalam merespon dan menyikapi wabah. Orientasi beragama dijelaskani menggunakan teori Allport tentang oriantasi dan kematangan beragama. Sedangkan kedewasaan beragama dibahas menggunakan konsep healthy minded dan sick soul religion-nya William James.

Refleksi nalar, orientasi dan kedewasaan beragama saat pandemi ini kemudian digunakan sebagai pijakan untuk meneropong kemungkinan terjadinya perubahan potret dan lanskap keberagamaan pada masa adabtasi kebiasaan baru (new normal) dan pasca wabah. Belum adanya norma baru (new norm) pada masa normal baru (new normal) ditengarai menjadi salah satu faktor ketidaktaan sebagian masyarakat agama pada protokol kesehatan pada masa wabah.

Di sinilah Studi-Agama-Agama (SAA) memiliki relevansi untuk tampil memberikan solusi melalui kajian-kajian strategis. Sebagaimana saya rekomendasikan di bagian akhir artikel tersebut, Studi Agama-Agama perlu memperkuat kajian multidisiplin, transdisiplin dan interdisplin (integratif dan interkonektif keilmuan) yang berorientasi padaproblem solving.

Perlu dikembangkan tema kajian dan research group yang fokus pada agama dan sains, agama dan teknologi, agama dan bioethics, agama dan lingkungan, agama dan kesehatan, religious data science, keberagamaan dan keadaban publik di ruang digital, teologi bencana dan manajemen resiko, dan lain-lain.

Pada konteks inilah pengembangan Applied Religious Studies(Studi Agama Terapan) menemukan momentum yang tepat untuk memperkuat dimensi etis-aksiologis dari keilmuan ini. Dengan begitu, SAA diharapkan mampu memberikan kontribusi keilmuan yang kongkrit, sebagai bagian dari problem solver di masyarakat, bukan sekedar narasi yang normatif dan mengawang-awang.”

Selamat membaca.

Dari Apa

Terbuat dari apa matamu
Hingga tidak mampu melihat kesengsaraan bangsamu

Terbuat dari apa telingamu
Hingga tidak mampu mendengar keresahan rakyatmu

Terbuat dari apa hidungmu
Hingga tidak mampu mencium aroma busuk di sekitarmu

Terbuat dari apa otakmu
Hingga tidak mampu memikirkan nasib negerimu

Terbuat dari apa hatimu
Hingga tidak mampu memberi kepastian

Terbuat dari apa tanganmu
Hingga tidak mampu menegakkan keadilan

Terbuat dari apa kakimu
Hingga tidak mampu melangkah ke depan

Terbuat dari apa tubuhmu
Hingga tidak mampu memberi kehangatan tanah airmu.

Wirokerten, 9 Juli 2020

Ada Saatnya

Ada saatnya
Mulut kita tutup,
Agar nurani bicara.

Ada saatnya
Telinga kita tulikan,
Agar sukma mendengar.

Ada saatnya
Penglihatan kita pejamkan,
Agar mata hati memandang.

Ada saatnya
Tangan kita istirahatkan,
Agar pikiran bekerja.

Ada saatnya
Langkah kaki kita hentikan,
Agar asa berjalan.

Ada saatnya
Raga kita rebahkan,
Agar jiwa melayang.

Wirokerten, Bantul, 4 Juli 2020

KOMODIFIKASI RAMADHAN: Jebakan atau Peluang?

Setengah halaman iklan full colour produk elektronik dan furniture mulai dari LCD TV, AC, Kulkas, meja makan, tempat tidur, sofa, dari gerai ternama muncul di sebuah harian nasinal sekitar 15 hari sebelum Ramadhan tiba. Di atas gambar-gambar perabot dan elektronik tersebut tertulis “Sambut Ramadhan, persiapkan segala kebutuhan furnishing dan elektronik untuk menyambut bulan yang suci dan momen kebersamaan lebih berkesan”. Disamping kanan tulisan tersebut dengan warna merah dan angka nol cukup besar terbaca “cicilan 0% hingga 24 bulan”. Di bawah gambar-gambar produk yang diiklankan ada lambang dan nama bank.

Paragraf di atas salah satu contoh bagaimana bulan suci ramadhan telah dikomodifikasikan sedemikian rupa oleh para pemilik modal. Secara sederhana komodifikasi adalah proses menjadikan sesuatu yang sebenarnya bukan komoditas untuk diperjual-belikan menjadi barang atau jasa yang memiliki nilai ekonomi. Komodifikasi ramadhan adalah menjadikan simbol dan kegiatan-kegiatan yang berhubunga dengan ramadhan menjadi komoditas yang bernilai secara ekonomi. Termasuk dalam hal ini adalah produk barang dan jasa yang sebenarnya tidak memiliki kaitan dengan simbol dan amaliah ramadhan dihubung-hubungkan dengan ramadhan untuk meningkatkan omzet penjualan. Continue reading “KOMODIFIKASI RAMADHAN: Jebakan atau Peluang?”

Dari Kedermawanan Menuju Kewirausahaan Sosial

Salah satu pertanyaan yang sering muncul terkait menjamurnya lembaga-lembaga filantropi Islam akhir akhir ini, sebagaimana yang dikupas dalam buku Filantropi dalam Masyarakat Islam (2008), adalah  sejauh mana LAZIS-LAZIS tersebut berhasil memberdayakan faqir miskin?

Jangan-jangan munculnya lembaga-lembaga tersebut justru menciptakan ketergantungan dan melanggengkan kemiskinan? Pertanyaan ini muncul sebab tidak jarang pentasharufan dana zis masih bersifat karikatif, adhoc dan sebatas untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Continue reading “Dari Kedermawanan Menuju Kewirausahaan Sosial”

Kearifan Lokal; Seberapa Arif?

Tidak sedikit yang menganggap budaya lokal (local culture) sebagai simbol keterbelakangan, penghalang kemajuan dan tidak sesuai dengan kemajuan. Untuk menjadi modern, segala hal yang berbau lokal mesti ditanggalkan. Lambat laun budaya lokal kehilangan pesonanya, bahkan bagi masyarakat pemiliknya. Ironisnya, sayap puritan agama-agama besar (world religions), dalam batas tertentu, ternyata turut berkontribusi dalam meminggirkan budaya lokal tersebut. Tidak jarang agama-agama besar dunia menilai tradisi lokal sebagai hal yang mengotori praktik keberagamaan yang autentik.

Asumsi tersebut berkembang pada abad 20an, ketika modernitas menjadi perspektif dominan dalam mengkaji kebudayaan. Kini, saat modernitas dengan developmentalism theory-nya mendapat kritik, serta lahirnya teori dan perspektif baru dalam mengkaji kebudayaan –seperti post-modernism, post-traditionalism, multiple-modernity–, kebudayaan lokal seolah menemukan momentum untuk bangkit. Budaya lokal tidak lagi dipandang sebagai bentuk keterbelakangan, namun sebagai sumber kearifan hidup atau local wisdom. Kritik terhadap masyarakat modern yang kering secara spiritual akibat terlalu bersandar pada rasionalitas telah mendorong sebagian manusia modern mencari alternatif. Alternatif tersebut mereka temukan dalam tradisi lokal yang dinilai memiliki kekayaan luar biasa dalam memberikan hikmah hidup di balik ekpresinya yang sederhana. Continue reading “Kearifan Lokal; Seberapa Arif?”

Ukhuwah Sejak dalam Pikiran

Mau dan mampukah kita menyapa, bergaul, bekerjasama, atau bahkan menolong orang yang berbeda dengan kita? Beragam perbedaan, mulai dari latar belakang keluarga, pendidikan, agama, suku, jenis kelamin, hobby, pekerjaan, partai politik, dll.; bisakah kita secara ikhlas menerima kehadirannya di sekitar kita?

Setidaknya ada empat kategori cara memandang perbedaan ini.

  1. Pertama adalah orang yang menganggap segala yang berbeda dengan dirinya sebagai musuh.
  2. Kedua adalah orang yang tidak peduli terhadap semua yang berbeda darinya, sekedar menyapanya pun tidak mau.
  3. Ketiga, orang yang menganggap perbedaan itu sebagai alasan untuk menjalin kerjasama.
  4. Dan keempat, orang yang memandang perbedaan sebagai modal untuk saling memperkaya.

Dua kategori pertama tersebut merupakan cara pandang negatif terhadap perbedaan, sedangkan dua yang terakhir sebagai cara pandang positif. Kedua cara pandang tersebut berimplikasi terhadap keharmonisan hidup di alam yang majemuk ini. Secara internal, cara pandang tersebut juga berimplikasi pada kualitas persatuan atau ukhuwah umat Islam. Sulitnya membangun ukhuwah diantara umat Islam yang terdiri dari berbagai aliran, faham dan golongan dipengaruhi oleh masih kentalnya cara pandang negatif terhadap perbedaan di kalangan umat Islam. Kualitas ukhuwah yang berjalan selama ini, apakah masih sekedar basa-basi atau sudah mewujud dalam ukhuwah yang autentik, juga dipengaruhi oleh mind set kaum muslimin dalam memandang perbedaan dan keanekaragaman di kalangan umat Islam. Continue reading “Ukhuwah Sejak dalam Pikiran”

Excuse Me, Sorry & Thank You

Pernahkah Anda mendengar keluhan bahwa anak-anak zaman now mulai kehilangan sopan santun? Unggah-ungguh mereka sudah jauh berbeda dengan anak-anak genereasi zaman old. Jangankan bersikap hormat kepada yang lebih tua, sekedar kata-kata permisi dan maaf-pun sudah jarang terucap. Mengapa defisit sopan santun tersebut terjadi pada generasi kita yang selama ini masyarakatnya dikenal ramah dan sopan? Adakah yang salah dalam proses pendidikan moral dan etika selama ini?

Saat kembali ke Australia dari riset lapangan di Jogja tahun 2010, saya kaget dengan perubahan drastis balita seorang teman Indonesia yang juga sedang studi S3 di negeri Kangguru tersebut. Enam bulan sebelum saya menuju Jogja anak tersebut dikenal “extra aktif” yang bahkan beberapa teman menyebutnya, maaf, sebagai trouble maker: suka merebut mainan teman sebaya, usil pada yang lebih tua, dan sering “jag-jagan” lompat dari satu kursi ke kursi lain atau naik meja di ruang tamu. Continue reading “Excuse Me, Sorry & Thank You”

Saintifikasi Agama

Merujuk pada Ian G. Barbour (2000) hubungan sains (ilmu pengetahuan) dan agama dapat dipetakan menjadi empat pola. Pertama adalah pola konlfik yang melihat antara sains dan agama saling bertentengan. Sains berbasis penemuan ilmiah yang empirik, obyektif  dan sekuler, sedangkan agama itu sangat subyektif, tidak empirik, dan teologis. Kedua adalah pola mandiri atau independent yang menganggap antara ilmu dan agama terpisah, antara keduanya tidak ada kaitannya satu sama lain. Masing-masing berdiri sendiri, tidak saling menyapa. Ketiga adalah pola dialog yang menilai antara sains dan agama bisa saling menyapa dan berdialog. Sedangkan yang keempat adalah pola integrasi yang menjelaskan bahwa antara sains dan agama tidak hanya dapat saling berdialog namun lebih dari itu juga dapat berinterkoneksi dan berintegrasi, saling mengisi satu sama lain.

Keempat pola hubungan sains dan agama tersebut memiliki basis epistemologi sendiri-sendiri dan tentu berimplikasi pada model aksiologinya. Misalnya, kelompok yang perparadigma antara sains dan agama itu berdiri sendiri-sendiri akan memisahkan pengetahuan menjadi ilmu agama dan ilmu umum. Pengembangan ilmu umum (baca: sains) itu bebas nilai, tanpa batas, untuk urusan duniawi; sedangkan ilmu agama untuk urusan akherat. Kelompok yang berparadigma antara sains dan agama saling bertentangan bahkan bisa saling serang: agawaman menganggap sains berpotensi membawa manusia makin jauh dari Tuhan, dan sebaliknya ilmuwan mengaggap agama sebagai belenggu kemajuan. Sebaliknya, kelompok yang menilai antara sains dan agama bisa saling menyapa baik pada level dialog atau bahkan integrasi, mencoba mengembangkan sains yang bertanghungjawab, dengan mempertimbangkan nilai kemanusiaan dan ketuhanan di dalamnya. Dari sini kemudian muncul ide-ide islamisasi ilmu serta integrasi dan interkoneksi keilmuan. Continue reading “Saintifikasi Agama”

Tabayun & Cerdas Ber-MEDSOS (Ber Sosial Media)

Dunia dalam genggaman. Itulah ilustrasi kemajauan teknologi informasi saat ini. Segala macam peristiwa yang terjadi di berbagai belahan dunia bisa diketahui orang seantero bumi hanya dalam hitungan detik melalui perangkat teknologi. Dengan gadget telepon seluler cerdas (smart phone) di tangan, kita tidak hanya sebagai konsumen informasi, namun juga bisa menjadi perantara, bahkan juga produsen berbagai berita dari suatu peristiwa.

Menjamurnya media informasi online baik yang resmi dari portal kantor berita maupun yang berseliweran di sosial media dari para netizen mendorong orang berlomba ingin menyajikan informasi secepat mungkin. Di dorong oleh adagium “knowledge is power,” bahwa menguasai arus pengetahuan dan informasi adalah modal utama untuk menguasai dunia, orang pun berlomba memperoleh informasi dan pengetahuan secepat mungkin. Sayangnya, tidak sedikit dari konsumen informasi yang kurang menyadari bahwa sebagai bagian dari upaya mempengaruhi pikiran pembaca berita, produsen berita mencoba untuk menyajikan informasi, peristiwa, dan gagasan dengan framing yang sealur dengan kepentingannya. Continue reading “Tabayun & Cerdas Ber-MEDSOS (Ber Sosial Media)”