Dicari: Iron-Chef Muslim

Sertifikasi halal ini, yang didesain sebagai bentuk kontrol dan pemberian jaminan keotentikan sebuah produk, sebenarnya berakar pada hilangnya kepercayaan atautrust konsumen terhadap produsen. Karena itu, selalin melalui nalar kuasa sertifikisai, kenapa tidak juga ditempuh jalan kultural dengan mencetak produsen2 jujur sebanyak-banyaknya? Sayangnya, sulit –atau memang belum ada– perguruan tinggi Islam yang punya program studi terkait permakanan seperti tata boga, hospitality, perhotelan, dll dan bereputasi cemerlang.

——————–

Akhir-akhir ini dua institusi tengah “berebut” hak pemberian sertifikasi halal, MUI dan Depag. Rebutan tersebut dipicu oleh RUU Jaminan Produk halal dan Badan Penjaminan Produk Halal yang menyebutkan wewenang sertifikasi berada di Depag, bukan lagi di MUI sebagaimana yang selama ini sudah berjalan.

Tentu saja pemindahan wewenang tersebut ditolak oleh MUI. Pihak MUI bahkan menegaskan pemindahan wewenang tersebut merupakan kesalahan besar. Penetapan halal-haram adalah domain agama karena itu MUI lah yang lebih berwenang bukan Negara. Ketua MUI, sebagai mana diberitakan sejumlah media menyatakan: ”Sertifikasi halal adalah fatwa tertulis. Sehingga harus diberikan oleh lembaga yang memiliki kompetensi memberikan fatwa, dan yang berkompetensi memberikan fatwa adalah MUI.” Di berbagai negara, seperti Malaysia, Singapore, Thailand, serta Ausralian selama ini sertifikasi halal pada produk makanan, obat dan kosmetika memang diberikan oleh majelelis atau otoritas ulama setempat.

Sementara itu Depag berargumen pemindahan tersebut dalam rangka mengefektifkan penataan produk halal. Kalau sertifikasi dibawah kendali Menteri Agama yang dalam hal ini representasi negara maka pengawasan dan kontrol bisa dilakukan lebih intents. Negaralah yang punya otoritas mengatur dan memberi sanksi terhadap produsen yang nakal. Selama ini bila ada pelanggaran dari produsen MUI hanya hampu ‘mengimbau’ tanpa pemberian sanki sama sekali. Beberapa kasus produk halal aspal berlalu begitu saja, belum bisa dibawa ke pengadilan sebab Undang-Undangnya sendiri juga belum ada. Meski sertifikasi akan lebih baik dilakukan oleh lembaga yang punya power, keinginan Depag mengambil alih sertifikasi ini juga disanksikan berbagai pihak. Rekam jejak pengelolalan haji yang masih menyisakan berbagai masalah mendorong publik mempertanyaakan kelayakan institusi itu menangangi pekerjaan yang syarat dengan fulus itu.

Belajar dari peristiwa yang sudah-sudah, isu produk halal ini selalu mencuat. Saat awal MUI menerapkan sertifikasi halal pada masa Orba dulu muncul polemik seputar biaya sertifikasi serta aroma monopoli pelabelan stiker halal oleh salah satu kroni penguasa. Saat ini di berbagai milis dan media juga ramai didiskusikan tentang siapa saja yang harus mendapatkan sertifikasi produk halal, apakah prudusen kelas pabrik atau juga produsen UKM dan kaki lima ; juga siapa yang mesti memanggung beban beaya sertifikasi tersebut. Bila biaya sertifikasi itu dibebankan pada produsen, tentu berimplikasi harga jual produk halal lebih mahal dibanding yang non-halal, sebab produsen ujung-ujungkan akan membebankan biaya sertifikasi tersebut pada konsumen. Resikonya, karena himpitan ekonomi umat akan memilih produk yang harganya lebih murah meski tidak tersertifikasi. Karena itu, beberapa kalangan mengusulkan agar biaya sertifikasi halal itu digratiskan saja, ditanggumng oleh negara.

Sertifikasi halal yang didisain sebagai sarana kontrol dan pemberian jaminan keotentikan sebuah produk, sebanarnya berakar pada hilangnya kepercayaan, trust, konsumen terhadap produsen. Bisnis yang wataknya ingin mencari untung sebanyak-banyaknya sering menghalalkan segala cara termasuk menipu contents produk. Nah, bila yang mendasari sertifikasi itu adalah memudarnya kepercayaan, selalin melalui nalar kuasa sertifikisai kenapa tidak juga ditempuh jalan kultural dengan mencetak produsen2 jujur sebanyak-banyaknya?

Ambil contoh dalam bidang produksi dan jasa penyediaan makanan atau cattering, maka jalur kultural menekankan pencetakan sebanyak-banyak pengusaha makanan dan catering dam kuliner dari kalangan Muslim yang reputable. Kadang saya sedih bila melihat minimnya pengusaha Muslim bersekala besar yang bergerak di bidang insutri makaanan dan minuman dalam kemasan. Memang untuk menjadi pelaku uasaha makanan yang handal diperlukan ilmu dan ketekunan. Sayangnya, sulit –atau memang belum ada– perguruan tinggi Islam yang membuka program studi terkait permakanan seperti tata boga, hospitality, perhotelan, dll. Padahal ilmu-ilmu itulah yang banyak berkutat dengan bisnis makanan. Tentu mahasiswa tataboga di PT Islam akan diajari membuat dan menyajikan makanan yang bergizi, lezat dan mengundang selera; juga diajari menjadi wirausaha bidang kuliner yang handal. Mereka tidak hanya belajar membedakan bahan baku yang haram, syubhat dan halal, tapi juga diajak mencari alternatif resep dan bahan yang halal menggantikan yang masuk kategori haram dan membahayakan.

Andai saja ada Perguruan Tinggi Islam yang sudah lama menekuni bidang ini, kita tidak akan segagap sekarang dalam menghadapi menjamurnya produk dan rumah makan yang tidak jelas kehalalannya, sebab dengan mudah kita bisa menemukan produk makanan, restoran, dan kafe yang terjamin kehalalannya dan ke-thayyiban-nya karya alumni PT Islam tersebut. Bahkan saya juga memimpikan suatu saat akan muncul chef Muslim yang berlaga di Kitchen Stadium memperebutkan supremasi Iron Chef. Tapi, berapa tahun lagi mimpi itu terwujud? Bukankah bidang ini termasuk yang terabaikan dalam khasanah Islam?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.