Ramadhan bagi Minoritas Muslims

The more temptation we face, the more reward we will have. Saat sedang asyik mendengarkan kuliah di kelas; datang mahasiswi dengan pakaian musim panas yang “compang-camping & tidak lengkap.” Dia langsung duduk di sampingku, membuka tas, mengeluarkan minuman kaleng lalu menenggaknya, glek glek glek…. “uh segarnya…” batin saya.

Kadang saya berfikir, puasa umat Islam Indonesia itu terlalu “manja.” Atas nama menghormati bulan Ramadhan tempat-tempat hiburan dan warung makan dihimbau tutup. Tempat maksiat digerebek. Operasi miras dilakukan di berbagai daerah, hotel dan rumah-rumah bordil pun dirazia.

______________

Rabu malam 26 Agustus 2009 waktu Brisbane, seorang jurnalis sebuah media massa cetak di Semarang mengontak saya via YM. Dia ingin tahu pengalaman puasa di negeri orang. Berikut ini penggalan chatting saya dengan wartawati tersebut, setalah dilakukan beberapa editing. Semoga bermanfaat.

Fani (F): Assalamu’alaikum, mas Taqin.

Muttaqin (M): ‘Alaikum salam. Gemana kabarnya mbak?

F: Alhamdulillah

M: Oke. How may I help you?

F: Enggak, aku cuma mau nanya aja pengalaman puasa di luar negri. Sekarang di Australia ya mas?

M: Betul.

F: Di kota apa?

M: Brisbane.

F: Kuliah dimana, trus jurusannya apa?

M: Saya di PhD program Internatinal Business & Asian Studies (IBAS), Griffith University.

Secara umum Ramadhan di Brisbane tahun 1430 ini lama puasanya hampir sama di Indonesia. Sekitar duabelas setangah jam. Hanya saja, pas masuk Ramadhan berbarengan dengan cuaca yang agak extrim; kalau siang panas banget & menyengat.

F: Sahur jam berapa? Azan subuhnya?

M: Saya biasa mulai sahur jam 4 pagi. Adzan subuh hari pertama jam 5 kurang 5 menit. Buka puasa / maghrib jam 5.30 sore. Dari jadwal yang ada, tiap hari puasanya makin lama. Rata-rata bertambah 3-5 menit.

F: Enak puasa dimana, di Ausi apa Indonesia?

M: Secara sosial jelas enak di Indonesia.

F: Kenapa?

M: Karena gebyar ramadhan betul betul terasa di Indonesia, mulai dari telivisi, aktivitas masjid, media massa, pusat-pusat perbelanjaan, dlll

Di Indonesia kita selalu diiingatkan oleh pengeras suara masjid bahwa waktu sahur sudah tiba, suara mengaji/tadarus dari masjid2 sekitar, dll. Semua menambah suasana ramadhan makin syahdu.

Di Brisbane atau di negara Barat lain saat komunitas Muslim minoritas, sulit menemukan suasana Ramadhan di ruang publik.

F: Di sana masjidnya jauh atau dekat? Trus azannya dari masjid atau dari laptop?

M: Ada banyak masjid, tapi kebetulah jauh dari tempat tinggal saya. Untungnya di kampus ada “mushalla” yang bisa digunakan oleh teman-teman GUMSA (Griffith Uni Muslim Student Association) untuk kegiatan. Selama Ramadhan GUMSA mengkoordinir buka puasa bersama + sholat tarowih di mushalla kampus tiap hari. Buka puasa yang disediakan termasuk makan besar (dinner). Karena mayoritas muslims student berasal dari Timur Tengah, maka setiap buka puasa selalu tersedia kurma berkardus2. Setelah sholat maghrib kita makan malam bersama, dengan porsi yang, menurut ukuran perut Indonesia, bisa dipakai hingga sahur.

Bagi mahasiswa, bulan puasa seperti ini bisa “ngirit”, karena bisa ifthar + dinner “gratis” selama ramadhan. Itu salah satu kenikmatan puasa di Brisbane, he he he.

Mahasiswa Muslim dari Indonesia juga berpartisipasi menyediakan dinner buka puasa di kampus kami. Kita “patungan” menyediakan buka puasa bersama untuk +150 mahasiswa. (Insya Allah dilaksanakan Sabtu 29 Agt 2009 ini).

Tentang adzan di mesjid atau mushalla kampus, yang adzan ya muadzin. Ada orang yang adzan, tapi pengerasnya hanya cukup untuk dalam mesjid. Tidak ada pengeras suara keluar. Kalau kita yang di kamar-kamar, untuk keperluan pribadi, biasanya dengan mengeset program adzan di laptopnya masing2.

F: Apa tantangan puasa di negeri orang.

M: Pertama jauh dari keluarga. Kedua, tidak ada suasana Ramadhan sama sekali di ruang piblik, termasuk kampus. Dan ketiga, “godaan” lingkungan sekitar.

Sebagai gambaran, kantin dan rumah makan kampus tetap buka seperti biasa, mengeluarkan aroma makanan yang menggoda. Mudah kita jumpai mahasiswa yang lalu lalang sambil menikmati burger dan minuman kemasan. Demikian juga di ruang kelas. Siang tadi, misalnya, saya menghadiri seminar yang menyediakan lunch. Mereka dengan santainya makan, terpaksa deh kita menelan ludah. Belum lagi dengan cara berpakaian para mahasiswi. Tahu sendirikan bagaimana cewek-cewek Barat bila berpakaian di musim panas? Pernah suatu saat sedang asyik mendengarkan kuliah di kelas; datang mahasiswi dengan pakaian “compang-camping” & tidak lengkap yang langsung duduk di sampingku. Setelah itu dia buka tas, mengeluarkan minuman kaleng lalu menenggaknya, glek glek glek…. “uh segarnya…” batin saya.

Terlepas dari itu semua, meski puasa di negeri orang itu godaan dan tantangannya lebih besar, tapi pahalanya saya kira juga lebih banyak. The more the temptation we face, the more reward we will have. Begitu kira-kra. ha ha ha.

F: Cuaca extrim yang panas di Brisbane sekarang sampai berapa derajat?

M: Kalau siang mencapai 30an derajat celcius. Mungkin untuk ukuran Indonesia masih moderate ya segitu itu. Hanya saya di Brisbane menjadi terasa extrim karena sebelum puasa suhunya sejuk di sekitar 10 derajat celcius; eh, begitu masuk Ramadhan suhu-nya tiba-tiba menjadi 30an derajat.

F: Apa yang dilakukan untuk mensiasati suhu yang panas itu?

M: Kita biasanya ngadem di kantor atau ruang ber AC lainnya di kampus.

F: Kalau hari libur gemana?

M: Alhamdulillah, mahasiswa PhD di kampus kami dapat jatah ruang kantor untuk kerja dan menulis. Kita bisa di kantor tersebut kapanpun kita mau, tidak terikat hari libur.

F: Itu untuk mahasiswa PhD, bagaimana dengan mahasiswa lain pada umunya. Sebab AC-kan mahal?

M: Mereka biasanya pergi ke perpustakaan yang tetap bukan meskipun hari libur.

F: Dibanding puasa di Amrik dulu enak mana?

M: Berdasar pengalaman, puasa di Ausi jauh lebih enak dibandingkan di Amrik (Miami, Florida). Kota Brisbane tempat saya tinggal sekarang lebih “ramah” pada komunitas Muslim. Toko-toko daging halal mudah didapat. Kampus tempat kami belajar menyediakan mushalla yang jadi satu dengan multifaith-centre . Di Brisbane juga banyak komunitas Indonesia. Mereka membuat perkumpulan seperti IISB (Indonesian Islamic Soceity of Brisbane) dan IMCoGU (Indonesian Muslim Community at Griffith Uni), dll. Komunitas2 ini aktif meyelenggarakan pertemuan seperti kajian mingguan dan pengajian bulanan. Di bulan Ramadhan ini kita sering menyelenggarakan buka puasa bersama. Kampus kami di Miami dulu tidak ada fasilitas khusus untuk prayer room, kegiatan MSA juga kurang meriah. Ramadhan betul-betul terasa hambar di Miami dulu.

F: Apa hikmah puasa di negari orang?

M: Menjadi minoritas Muslim di negeri orang tentu banyak tantangan, namun tetap banyak hikmah yang bisa dipetik: (1) Saya bisa menjalin persaudaraan dengan teman-teman Muslim dari berbagai Negara: Saudi, Mesir, Oman, Irak, Pakistan, India, Australia, Albania Brunei, Malaysia, dll. (2) Saya merasa benar-benar berpuasa, sebab tantangan dan godaan selalu di depan mata. (3) Terus, puasa saya terasa lebih bermakna sebab terbebas dari “gebyar simbolik ramadhan” yang terjebak budaya konsumtif sebagaimana terjadi di tanah air. (4) Karena secara kultur saya tidak bisa menemukan suasana Ramadhan di ruang publik, saya tertantang untuk menciptakan nuansa Ramadhan itu secara mandiri, dalam diri dan hati kita sendiri. Saya kira ini bagus untuk menumbuhkan “awareness of self-religiosity.” Kadang saya berfikir, puasa umat Islam Indonesia itu terlalu “manja.” Atas nama menghormati bulan Ramadhan tempat-tempat hiburan dan warung makan dihimbau tutup. Tempat maksiat digerebek. Operasi miras dilakukan di berbagai daerah, serta hotel dan rumah-rumah bordil dirazia.

F: Bukankah bagus bila PSK dan Miras di basmi?

M: Betul itu bagus. Kalau memang berniat memerangi pekat tersebut jangan hanya dilakukan sesaat dong. Buat program yang sistematis, entaskan mereka dari libah nista dengan menyediakan lapangan kerja yang lebih bertarbat. Jangan hanya menggeropyok dan mempermalukan mereka didepan sorot kamera televisi. Mereka juga manusia kan?

F: Betul juga, kadang saya kasihan dengan cara-cara petugas yang membentak dan menyeret-nyeret mereka.

M: Ya begitulah. Saya kira mereka itu korban dari ketidakadilan. Tampaknya kita selalu gagal belajar dari peristiwa masa lalu. Selalu berteriak atas nama moral, tapi nyaris nihil prestasi dalam soal kesejahteraan. Tiap tahun drama penggropyokan itu selalu muncul, tanpa dibarengi dengan langkah nyata mengentaskan mereka dari lembah keterpurukan. Secara tidak lansung aparat berkata: Bermaksiat di bulan Ramadhan itu illegal, di luar bulan Ramadhan silahkan. Saya kawatir image “Islam” makin tercoreng dengan kebijakan seperti itu. Siapa tahu, akan muncul dendam terhadap Islam dari mereka yang kena razia itu, sebab operasinya selalau mengatasnamakan “cipta kondisi romadhan” namun cara melakukannnya jauh dari norma dan kesantunan.

Wallahu’alam

One thought on “Ramadhan bagi Minoritas Muslims

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.