Saintifikasi Agama

Merujuk pada Ian G. Barbour (2000) hubungan sains (ilmu pengetahuan) dan agama dapat dipetakan menjadi empat pola. Pertama adalah pola konlfik yang melihat antara sains dan agama saling bertentengan. Sains berbasis penemuan ilmiah yang empirik, obyektif  dan sekuler, sedangkan agama itu sangat subyektif, tidak empirik, dan teologis. Kedua adalah pola mandiri atau independent yang menganggap antara ilmu dan agama terpisah, antara keduanya tidak ada kaitannya satu sama lain. Masing-masing berdiri sendiri, tidak saling menyapa. Ketiga adalah pola dialog yang menilai antara sains dan agama bisa saling menyapa dan berdialog. Sedangkan yang keempat adalah pola integrasi yang menjelaskan bahwa antara sains dan agama tidak hanya dapat saling berdialog namun lebih dari itu juga dapat berinterkoneksi dan berintegrasi, saling mengisi satu sama lain.

Keempat pola hubungan sains dan agama tersebut memiliki basis epistemologi sendiri-sendiri dan tentu berimplikasi pada model aksiologinya. Misalnya, kelompok yang perparadigma antara sains dan agama itu berdiri sendiri-sendiri akan memisahkan pengetahuan menjadi ilmu agama dan ilmu umum. Pengembangan ilmu umum (baca: sains) itu bebas nilai, tanpa batas, untuk urusan duniawi; sedangkan ilmu agama untuk urusan akherat. Kelompok yang berparadigma antara sains dan agama saling bertentangan bahkan bisa saling serang: agawaman menganggap sains berpotensi membawa manusia makin jauh dari Tuhan, dan sebaliknya ilmuwan mengaggap agama sebagai belenggu kemajuan. Sebaliknya, kelompok yang menilai antara sains dan agama bisa saling menyapa baik pada level dialog atau bahkan integrasi, mencoba mengembangkan sains yang bertanghungjawab, dengan mempertimbangkan nilai kemanusiaan dan ketuhanan di dalamnya. Dari sini kemudian muncul ide-ide islamisasi ilmu serta integrasi dan interkoneksi keilmuan.

Disamping keempat macam pola relasi sains dan agama tersebut, akhir-akhir ini muncul gejala lain di masyarakat terutama dari kalangan agamawan untuk melakukan saintifikasi agama. Secara istilah saintifikasi adalah proses menjadikan sesuatu yang sebenarnya bukan sains menjadi seolah-olah saintifik (ilmiah). Saintifikasi agama ini ditandai dengan digunakannya argumen-argumen keilmuan, seperti hasil penemuan dalam bidang fisika, astronomi, psikologi, dll. sebagai pembenar suatu ajaran agama. Tujuannya untuk menunjukkan bahwa ajaran agama yang diyakini dan dipaktikkan itu rasional dan ilmiah. Pola ini dilakukan dengan mengutip hasil penelitian ilmiah yang dipandang dapat memperkuat suatu ajaran atau praktik keagamaan. Ironisnya, yang dikutip tersebut bukan hasil penelitian agamawan sendiri tapi hasil kerja orang lain, bahkan mereka yang dianggap kafir sekalipun, yang saat melakukan riset sama sekali tidak dilandasi oleh argumen keagamaan.

Contoh tren saintifikasi agama ini adalah pengutipan hasil riset Prof. Masaru Emoto tentang keajaiban air yang dillakukan oleh para juru dakwah, baik melalui media online, media cetak, maupun dalam dakwah-melalui lisan. Sebagaimana diuraikan Masaru Emoto, air yang dibacakan dengan doa-doa dan kata-kata yang positif molekulnya akan membentuk kristal yang indah, sedangkan air yang diberi kata-kata yang jorok dan kasar molekulnya berubah menjadi berantakan dan menakutkan. Argumen Masaru Emoto tersebut sering digunakan untuk menjustifikasi kasiat dari air doa atau air yang dibacakan wirid tertentu.

Contoh lainnya adalah penjelasan ajaran tasawuf (ikhlash, sabar, wara’, dll.) dengan menggunakan perspektif psikologi, terutamam psikologi humanistik. Dalam beberapa pelatihan kecerdasan emosi dan spiritual yang berkembang di Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir ini, model saintifikasi ajaran agama atau tepatnya psikologisasi ajaran agama dapat dengan mudah dijumpai.

Sekilas tidak ada yang salah dengan proses saintifikasi  agama di atas, sebab dengan justifikasi hasil riset ilmiah, masyarakat merasa lebih yakin terhadap paham dan paktik keagamaan yang mereka lakukan selama ini. Namun, bila ditelaah lebih jauh ada beberapa hal yang perlu direnungkan kembali: Pertama, untuk ajaran agama yang sudah ada rujukan hasil riset ilmiahnya mungkin akan memperkuat pandangan umat beragama terhadap keyakinan dan praktik dari ajaran tersebut, namun bagaimana dengan ajaran agama yang belum memiiliki justifikasi ilmiah? Bukankah itu akan berpotensi umat beragama bersikap eklentik, hanya mempraktikkan ajaran agama yang didukung hasil riset ilmiah dan mengabaikan yang tidak ilmiah?

Kedua, mengingat tidak ada hasil riset ilmiah yng memiliki kebenaran mutlak, bagaimana jika di kemudian hari nanti ada hasil riset serupa yang membantah hasil riset terdahulu yang dijadikan sebagai dasar pembenar ajarah agama tersebut? Apakah ajaran agamanya juga akan dianggap tidak benar?

Ketiga, praktik saintifikasi ajaran agama biasanya dikakukan dengan hanya mengambil hasil riset “orang lain” tanpa melihat latar belakang peneliti maupun epistemologi dari riset tersebut. Kecenderungan hanya comot sana comot sini ini secara tidak langsung menandakan umat masih “malas” melakukan riset sendiri. Umat masih menjadi konsumen ilmu pengetahuan, belum menjadi produsen. Untuk menjustifkasi kebenaran agamanya sendiri saja masih harus “meminjam” teori atau hasil penelitian orang lain.

Praktik saintifikasi agama semacam ini berkembang salah satunya karena masih ambigunya sikap umat Islam terhadap sains. Satu sisi begitu getol mengambil hasil riset ilmiah yang dianggap mendukung kebenaran faham dan praktik keagamaannya sekalipun itu dari sumber non-Muslim, namun di sisi yang lain etos umat masih sengat rendah dalam bidang sains dan teknologi.

Lemahnya etos pengembangan sains dan teknologi di dunia Islam ini sudah dikritik oleh Professor Astrophysics asal Algeria yang berkarier di Uni Emirate Arab, Nedhal Guessoum (2013). Guessoum mengkritik keengganan negara-negara Arab untuk berinvestasi dalam riset bidang Astronomi, padahal banyak praktik ibadah dalam Islam yang berkaitan dengan Astronomi tersebut seperti penentuan awal bulan Qomariah, penentuan jadwal waktu sholat, dll. Menurut Guessoum, hal ini terjadi karena pendekatan terhadap sains negara-negara Arab dan masyarakat Muslim pada umumnya masih sangat utilitarian, hanya melihat dari manfaat praktis suatu teknologi.

Agar umat tidak terjebak pada saintifikasi agama yang membabi buta, maka pengembangan sains dan teknologi harus menjadi prioritas garap umat Islam termasuk ormas-ormasnya. Bila tidak, slogan “beramal ilmiyah berilmu amaliyah” hannya akan berhenti di ucapan tanpa tindakan.

Wallahu a’lam.

Catatan: dimuat dalam Mjalah Al-Manar edisi Mei 2015.

2 thoughts on “Saintifikasi Agama

  1. Saintifikasi agama itu apakah bisa dikategorikan dalam salah satu di antara: Islamisasi Ilmu dan Pengilmuan Islam, Pak?

  2. sekarang banyak sekali menyelewengan yang mengatasnamakan suatu agama. sebagai manusia yang beriman harusnya kita juga harus tau dasar-dasar ilmunya, jangan hanya mengikuti apa yang dilakukan orang-orang sekitar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.