Muhammadiyah, Fiqih Tembakau & Kritik Negara

Muhammadiyah baru saja mengeluarkan fatwa rokok haram, merevisi fatwa sebelumnya (2005) yang menyatakan rokok itu mubah tapi ditinggalkan lebih baik. Fatwa Muhammadiyah kali ini “setingkat lebih tinggi” dari fatwa MUI tentang rokok yang menyatakan rokok pada dasarnya makhrukh, namun haram untuk anak-anak dan wanita hamil.

Berbagai respon, pro dan kontra terhadap fatwa haram rokok Muhammadiyah terus bermunculan. Diantara yang kontra menyatakan keluarnya fatwa rokok haram itu menunjukkan para ulama Muhammadiyah tidak peka terhadap permasalahan kaum tani, dan hanya bisa memberi stempel halal dan haram. Betulkah demikian?

Anti Petani Tembakau?

Setahu saya fatwa rokok haram Muhammadiyah itu melalui kajian ineterdispliner, kesehatan, fiqh ushul fiqh, tafsir hadits, dan juga sosial ekonomi. Salah satu rujukan bidang sosial ekonomi adalah hasil riset pusat demografi FEUI terkait perekonomian petani tembakau. Hasilnya, petani tembau selama ini sebenernya rugi secara eknomis dibandingkan bila yang bersangkutan menanam produk lain. Mereka juga sering menjadi korban “kenakalan” tengkulak tembakau dan cukong-cukong benih dan pupuk. Pada tahap ini, fatwa tersebut justru bagian dari sikap pro pada petani untuk mengentaskan mereka dari kubangan kapitalisasi tembakau yang hanya dinikmati oleh segelintir orang.

Bukankah di bagian lain fatwa tersebut juga dinyatakan Muhammadiyah akan membantu petani tembakau dalam proses transfer tanaman? Saya kira “hujatan” ulama kita atau Muhammadiyah tidak peka terhadap petani bukan tindakan yang bijak. Aktivisme MPM periode ini bisa jadi bukti langkah-langkah Muhammadiyah dalam mengadvokasi para petani.

Kebijakan yang Amburadul

Harus diakui, konsumen rokok terbesar di negeri ini adalah masyarakat miskin. Data SUSENAS 2006, yang juga dikutip oleh ketua Majelis Tarjih dalam Halaqoh Fiqih Pengendalian Tembakau di Yogyakarta berapa waktu yang lalu, menunjukkan pengeluaran keluarga miskin untuk rokok mencapai 11.9%, sedangkan keluarga kaya hanya 6,8%. Kelurga miskin inilah sejatinya korban dari kebijakan negara yang tidak tegas mengatur/membatasi peredaran tembakau. BLT yang tahun-tahun kemarin digelontorkan pemerintahan SBY ke masyarakat miskin ujung-ujungnya banyak yang justru dipakai beli rokok.

Salah satu periset ekonomi rokok di keluarga miskin menemukan data sebagai berikut: Rokok telah mengalahkan kebutuhan gizi, biaya kesehatan dan pendidikan keluarga. Uang rokok ternyata 17 kali lebih besar dari pengeluaran untuk daging, 5 kali lebih besar dari pengeluaran untuk telur dan susu, 2 kali lebih besar dari ikan dan sayuran, 9 kali lebih besar dari pengeluaran untuk buah, 15 kali lebih besar dari biaya kesehatan, dan 9 kali lebih besar dari biaya pendidikan. Artinya harga satu bungkus rokok terkenal setara dengan setengah kilogram telor, 2 kg beras, 1 liter minyak goreng, setengah kotak susu dengan berat 200 gram, 1 porsi makan di warung padang, setengah ekor daging ayam, 1-2 ikan bandeng ukuran sedang (Abdillah Hasan, 2010). Kurang lebih harga satu bungkus rokok juga setara dengan setengah rim kertas HVS, 2 buku tulis, 5 buah pensil, 4 karet penghapus, dan begitu seterusnya.

Dibandingkan dengan negara-negara lain, harga rokok di Indonesia paling murah. Di Indonesia, dengan satu dolar AS kita sudah bisa mendapatkan satu bungkus rokok, beberapa merek bahkan dijual dengan harga lebih murah. Di negara-negara maju, harga satu bungkus rokok bisa 5 – 10 kali lipat di Indonesia. Dalam rangka mengendalikan peredaran tembakau/rokok ini pemerintah diminta oleh banyak lalangan untuk menaikkan harga cukai rokok, tapi pemerintah tidak mau, takut pendapatan cukai akan menurun. Padahal dari berbagai kajian, justru pendapatan pemerintah meningkat tajam bila cukai itu dinaikkan. Kenapa pemerintah takut menaikkan cukai? Siapa yang menekan? Apakah bob-bos produsen rokok itu? Bukankah yang membayar cukai sejatinya bukan produsen rokok, tapi para konsumen rokok yang sebagian besar miskin itu?

Baru-baru ini MK sedang menangani kasus gugatan iklan rokok. Penggugat meminta negara mengatur kembali iklan rokok yang selalam ini begitu gencar dan mudah ditemui di mana-mana sehingga membahayakan anak-anak. Tergugat dengan menghadirkan berbagai kalangan, diantaranya seniman, berargumen iklan rokok turut membantu proses kreativitas dalam bidang seni. Menurut produsen rokok iklan rokok itu tidak untuk mencari konsumen baru tapi dalam rangka memelihata para perokok lama. Betulkah demikian? Bagi perokok, akibat sifat adiktif dari rokok tersebut, ada atau tidak ada iklan sama saja, mereka akan tetap mencari rokok itu. Iklan tersebut dengan demikian menjadi media yang efektif dan ampuh untuh menggoda para calon perokok.

Fiqih Tembakau

Dalam sebuah ceramah, seorang dokter menjelaskan ayat “Inna shalaata tanha ‘ani al-fakhsa wa al-munkar”: Fakhsa adalah segela perbuatan yang akan mendatangkan kerusakan pada diri sendiri, sedangkan Munkar itu tindakan yang akan mendatangkan kerusakan pada diri sendiri dan orang lain. Bila merekok itu katanya hanya akan membahayakan diri sendiri si perokok, maka ia termasuk perbuatan fakhsa. Bila merokok itu ternyata menyebkan kerusakan diri si perokok dan orang lain (perokok pasif), maka ia termasuk perilaku munkar.

Banyak orang masih berdebat soal kemanfaatan dan kemudzaratan merokok. Ada yang bilang industri rokok telah mengidupi banyak orang, menjadi sumber devisa, dan bla bla bla begitu sterusnya, termasuk di dalamnya menjadi lahan rezeki dokter jantung . Meski rokok telah menghidupi banyak orang, tapi ingat ia juga telah membunuh orang banyak. Apakah kemashlahatan rokok itu sepadan dengan kemudzatannya? Ada baiknya kita ingat kembali salah satu kaidah ushul yang fiqh yang menyatakan Dar’u al-Mafaasidu muqaddamun ‘ala jalbi al-mashaalih”. Jadi, kalau ada kemanfaatan dan kemudzaratan, maka membentengai kemungkinan kemudratan itu lebih diutamakan dari pada mengambil kemaslahatannya.

Secara umum merokok itu aktivitas profan sebagaimana makan dan minum yang tidak terkait dengan ritual khusus keagamaan. Lalu mengapa Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan harus turun tangan mengeluarkan fatwa? Saya kira fatwa haram rokok Muhammadiyah itu bagian dari kritik komponen masyarakat madani yang gemas melihat negara tidak tegas dan ambigu dalam mengatur peredaran tembakau. Ketidakjelasan kebijakan yang selama ini turut melanggengkan keterpurukan keluarga miskin. Pada kontesks ini, fatwa rokok haram tersebut bagian dari ijtihad Fiqih Pengendalian Tembakau yang dilakukan Muhammadiyah dalam rangka melindungi warganya. Bila negara masih saja gagal melindungi dan mensejahterakan warganya, bisa dimengerti bila instrumen-instrumen agama selalu dihadirkan di tengah kehidupan profan.

Wallahu a’lam.

NB. Info lebih lanjut tentang Ekonomi tembakau bisa diakses di disini.

http://docs.google.com/viewer?a=vq=cache:2s3Ax8sfgU4J:www.worldlungfoundation.org/ht/a/GetDocumentAction/i/6568+riset+lembaga+demografi+feui+tentang+tembakau&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEEShIk49gxGB556x693w3aYFIjtd5tgHHAIV9PQuGJcgBBlHQe3I2Jj0pPKGlQJf1OZJRgy-CkOwMmt-eOA8GKk3LsGf6oIAPLroqZZX355OFYf3UmUNKgJmhVBlXrxv7EOvZr21B&sig=AHIEtbSpBt6zZYJ6u_BG0leY1p4pDjqdAA

Sumber gambar: http://petrukmoroto.wordpress.com/2009/04/08/perokok-pemabok-rokok/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.