Tanya Kenapa?!

Lagi-lagi jarak budaya gagal menyediakan jawaban yang memuaskan. Atau memang tidak bakal ada argument yang memuaskan, cukup sharing perspektif saja? Sebab, kita bukan alat pemuas to?

_______________

Mengapa hubungan sex pranikah dilarang dalam Islam? Mengapa orang Islam harus Sholat lima kali sehari? Mengapa Nabi Muhammad tidak boleh digambar?

Itu diantara pertanyaan non Muslim Australia terhadap mahasiswa Muslim Indonesia. Pertanyaan tersebut kadang dilontarkan dengan nada heran dipenuhi rasa ingin tahu, namun tidak sedikit yang hanya iseng, mengetes kadar keimanan yang ditanya.

Terus terang, tidak mudah memberikan jawaban kepada mahasiawa non Muslim tersebut. Kultur “sekuler” dan kebebasan berfikir, berkeyakinan dan berekspresi yang telah mereka enyam sejak pendidikan dasar menjadikan rasio sebagai panglima dalam memahami segala hal di muka bumi, termasuk masalah agama.

Ketika kita berikan jawaban keagamaan dengan argumen “itu semua perintah yang telah digariskan dalam Qur’an dan Hadis”, maka mereka akan bilang, “oke itu perintah, tapi kenapa diperintahkan begitu, kenapa agamamu melarang melakukan ini itu?” Mereka akan terus mengejar sampai curiosity-nya terpenuhi. Yang mereka butuhkan adalah argumen rasional, non-wahyu, yang bisa memenuhi kriteria berfikir logis sesuai kultur mereka.

Tentu saja ini tidak mudah, sebab secara kultural Indonesia dan juga beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim berbeda dengan Australia dan masyarakat Barat pada umumnya. Jarak budaya inilah yang tetap menghalangi mereka sampai titik “puas” terhadap jawaban yang telah diberikan teman-teman, meski sudah secanggih apapaun argumen rasional kita sodorkan.

Tentang larangan premarital sex misalnya, teman-teman telah berusaha menjawab serasional mungkin, menegaskan bahwa itu berkaitan dengan pemeliharaan “property.” Perempuan atau laki-laki sebelum menikah pada dasarnya masih “milik” orang tuanya masing-masing. Premarital sex pada konteks ini tidak ubahnya “pencurian” terhadap harta orang tua. Laki-laki mencuri property orang tua perempuan, dan perempuan mencuri propertinya orang tua laki-laki. Pernikahan adalah media transaksi serah terima property tersebut yang dilakukan oleh dua keluarga. Jawaban ini tentu sulit diterima rasio masyarakat Barat yang menganggap nikah hanya sebuah alternatif cara melanggengkan hubungan laki-laki dan perempuan. Leih parah lagi, tidak sedikit masyarakat yang menganggap pernikahan sebagai institusi pengekang kebebasan. Kultur Barat juga menegaskan secara yuridis, orang tua sudah tidak memiliki custodian privilege terhadap anaknya yang telah berusia 17 tahun. Dengan kata lain usia 17 atau di beberapa negara 18 tahun adalah batas anak secara penuh bisa memiliki, memenej dan mengoptimalkan tubuhnya sendiri.

Ada juga teman yang menjelaskan dengan kacamata sakralitas hubungan sex. Argumen ini menegaskan bahwa hubungan sex itu bukan sekedar recreation, pleasure dan kesenangan, lebih dari itu ia terkait dengan creation atau reproduction yang adiluhung. Hubungan sex atau reproduksi generasi yang dilakukan di luar bingkai pernikahan secara sosiologis akan mendegradasi derajat manusia dan menyulitkan kategorisasi nasab atau penentuan garis keturunan anak yang dilahirkan. Namun jawaban semacam ini juga akan mereka sanggah dengan mengatakan kebutuhan sex itu tidak ubahnya seperti kebutuhan makan dan minum. Kalau geneologis sebagai alasan, mereka akan bilang bukankah sekarang sudah ada teknologi uji DNA yang bisa dengan akurat dan mudah mencari siapa bapak dan ibu dari anak yang dilahirkan?

Teman yang lain mencoba menjawab dengan argumen pemeliharaan virginitas, simbol property termahal dari keperawanan dan keperjakaan. Kultur Timur sangat memelihara “barang mahal” tersebut dan ia hanya akan diserahkan kepada orang tertentu dan pada moment tertentu mealalui moment sakral yang berdimesi vertikal maupun horizontal. Pernikahan adalah media resmi secara yurudis dan sosiologis untuk melegalkan serah terima virginitas tersebut. Legalitas ini penting seban secara psikologis akan mengantarkan kedua mempelai bisa menikmati virginitas masing-masing dengan rasa aman, amanah dan penuh makna. Arguman virginitas inipun juga akan ditolak sebab kultur individualisme Barat telah menggerus fungsi-fungsi komunal yang ada di masyarakat. Sekularisasi Barat telah telah mereduksi etika komunal mereka, jatuh di titik nadir digantikan oleh kebebasan individal. Selama dua individu enjoy, suka sama suka dan tanpa ada paksaan, maka keduanya berhak merayakan pencerabutan viginitas tersebut tanpa bingkai pernikahan. Di Barat, pernikahan tidak ubahnya sekedar kontrak antar dua individu dalam rangka mendapatkan berbagai benefit yang disediakan oleh negara seperti kredit lunak dan tunjangan keluarga namun secara sosiologis mulai nyaris tidak berimplikasi apa-apa.

Lagi-lagi perbedaan kultur gagal menyediakan jawaban yang memuaskan. Atau memang tidak perlu ada jawaban yang memuaskan, cukup sharing perspektif saja? Saya kira memang demikian, sebab kita bukan alat pemuas to?

Wallaahu A’lam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.